Minggu, 30 Mei 2010

Stratifikasi sosial

Pengertian

Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.

[sunting]Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial

Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.

[sunting]Ukuran kekayaan

Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

[sunting]Ukuran kekuasaan dan wewenang

Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

[sunting]Ukuran kehormatan

Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

[sunting]Ukuran ilmu pengetahuan

Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.

Di Kutip Dari :Wikipedia

Kasus Tanjung Priok

14 April 2010, Daerah Jakarta Utara dikejutkan oleh bentrokan antara warga dan satpol PP. Mungkin ini bukan yang pertama kalinya warga bentrok dengan petugas satpol PP, Kejadian di picu karena tindakan petugas Satpol PP yang berencana akan “menertibkan” bangunan liar disekitar makam. Yang menyulut amarah warga adalah tindakan semena-mena para petugas Satpol PP dalam penertiban, dan terlihat sangat agresif. Tidak berlebihan bila dikemukakan, massa sampai (berani) melakukan perlawanan karena adanya beberapa permasalahan. Pertama-tama, disebabkan terjadinya kesalahpahaman sebagai akibat minimnya sosialisasi berkait rencana penggusuran bangunan liar di sekitar makam Mbah Priuk. Kesalahpahaman itu seakan mengharuskan mereka berjaga-jaga dalam upaya mempertahankan makam dari tindak penggusuran.

Tidak tertutup kemungkinan sebagian massa kemudian melakukan tindakan destruktif - juga terhadap personel Satpol PP, tidak tertutup kemungkinan juga sebagai akibat terjadinya akumulasi kemarahan eksternal. Katakanlah merupakan representasi pelampiasan atas perilaku Satpol PP yang terkesan tidak kenal kompromi dan berperangai arogan. Melakukan tindakan kurang terpuji yang cenderung tidak manusiawi, khususnya kepada rakyat jelata yang terpinggirkan. Terhadap kaum miskin dan papa yang tidak memiliki kekuatan dan kemampuan finansial.

Dalam hal ini aparat seharusnya lebih memahami kondisi masyarakat sekarang yang gampang tersulut oleh emosi, dan petugas parat juga seharusnya tidak boleh bertindak anarkis dalam menghadapi situasi seperti ini, karena akan sangat merugikan bagi kedua belah pihak. Kejadian ini perlu segera di atasi oleh pihak pemerintah atau siapa pun yang berwenang dalam hal ini, jika tidak ingin Tanjung Priok semakin berdarah. Dan perlu ditingkatkan sosialisasi apabila ada kegiatan penertiban seperti ini, agar tidak jatuh korban lagi.

Sangat disayangkan kenapa kejadian ini kerap sekali terjadi di negeri Indonesia. Negara yang menjunjung tinggi Pancasila rasanya sudah tidak mengutamakan lagi sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Terlihat jelas bocah juga ikut jadi korban pukul. Hak asasi manusia juga sudah tidak dihiraukan lagi. Harapan saya kasus kerusuhan yang kesekian kalinya ini dapat dijadikan renungan untuk kita semua agar bisa lebih hati-hati dalam bertindak. Dan memikirkan dampaknya bagi orang-orang yang merasa di rugikan, dan bisa jadi pelajaran buat orang-orang Indonesia.