Kamis, 28 April 2011

KAWASAN EKONOMI KHUSUS

Salah satu fenomena global yang sedang hangat dibicarakan adalah pelaksanaan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang merupakan modus baru negara-negara maju menanamkan dominasinya dinegara-negara berkembang dan negara terbelakang. Istilah baru Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI/Special Economic Zone/KEK) sebenarnya merupakan proses metamorfosa dari beberapa bentuk kegiatan ekonomi dalam rangka menarik investasi asing seperti Free Trade Zone (kawasan perdagangan bebas), Bended Zone Plus sebagaimana yang sudah dipraktekkan di Pulau Batam, namun dirasakan masih belum memberikan keuntungan yang signifikan baik bagi negara Indonesia maupun bagi para investor asing. Sebagai negara kepulauan yang terletak pada posisi silang dunia, negara Indonesia yang diapit dua Benua yaitu Benua Asia dan Australia serta dua Samudera yaitu Samudera Fasifik dan Samudera Hindia, menjadikan Indonesia berada pada posisi strategis ditengah garis khatulistiwa. Posisi geografis yang strategis tersebut menjadikan Indonesia sangat sulit menghindar dari interaksi masyarakat Internasional dalam lingkup global. Kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis serta dukungan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, membuat wilayah Indonesia selalu menjadi pusat perhatian dunia Internasional, bahkan pada masa zaman penjajahan wilayah Indonesia senantiasa menjadi rebutan negara-negara penjajah seperti Belanda, Prancis, Inggris dan Jepang, di mana sejarah mencatat bahwa negara-negara tersebut pernah mencengkraman kuku jajahannya di bumi Indonesia ini. Dari berbagai praktek rezim penjajahan tersebut telah menimbulkan keterbelakangan, penderitaan, kebodohan bahkan pengorbanan nyawa dan tumpah darah para pahlawan yang tidak ternilai harganya. Masuknya kaum penjajah dengan praktek kolonialisme dan kapitalismenya pada masa lalu, sebenarnya adalah suatu proses globalisasi, namun pelaksanaannya dengan pola kekuatan bersenjata dan kekerasan. Proses globalisasi juga berkembang saat ini dengan pola damai melalui pembentukan berbagai organisasi kerjasama perdagangan baik yang bersifat Internasional seperti GATT/WTO, GATS, maupun regional seperti APEC, AFTA, IMT-GT dan lain-lain. Kesepakatan umum tentang dagang dan tarif (GATT) dan kesepakatan mengenai dagang serta bidang jasa (GATS) mulai menguji keunggulan-keunggulan kompetensi strategis negaranegara berkembang, termasuk Indonesia, yang secara mendasar akan menyentuh sendi-sendi kedaulatan dan kepentingan nasional kita. (Lubis, 1996: 84). Uraian ringkas dalam pendahuluan ini sengaja mengungkap secara ringkas tentang globalisasi masa lalu dengan bentuk penjajahan dengan menggunakan senjata dan kekerasan, untuk menekankan penganalisaan kita apakah program KEK kelak dapat kita jadikan sebagai peluang pemajuan perekonomian nasional kita atau malah menjadi suatu ancaman yang suatu saat akan menyeret bangsa ini kedalam cengkeraman penjajahan baru (neo kolonialism).

INDONESIA DAN PERDAGANGAN GLOBAL

Awal tahun 1990-an merupakan suatu pembukaan era baru yang sangat historis dalam sejarah dunia modern. Beberapa perkembangan fundamental terjadi pada periode itu baik di bidang ekonomi maupun di bidang politk strategis. Perkembangan yang luas tersebut sangat mempengaruhi baik dalam arti politik maupun ekonomi. (Kartadjoemena, 1996: 39) Pada awal tahun 1990-an pemikiran bahwa mekanisme pasar merupakan instrumen yang efisien untuk melakukan kegiatan ekonomi semakin diterima secara global. Di samping itu semakin ada kesadaran mengenai terbatasnya kemampuan sektor pemerintah untuk memecahkan semua masalah ekonomi. (Kartadjoemena, 1996: 40)

Dengan disahkannya persetujuan umum mengenai tarif dan perdagangan melalui The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang merupakan perjanjian Internasional di bidang perdagangan Internasional yang mengikat lebih dari 120 negara ingin menciptakan suatu perdagangan Internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja dan menciptakan iklim perdagangan yang sehat. (Adolf dan Chandrawulan, 1994: 1)

Perkembangan kehidupan global yang ditandai dengan timbulnya berbagai kelompok/blok kekuatan kerjasama ekonomi seperti GATT/WTO, Kerjasama Ekonomi Asia Fasifik (APEC), NAFTA (Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara), AFTA menuntut berbagai negara termasuk Indonesia untuk dapat bergabung dan bekerjasama dengan negaranegara lain yang tergabung dalam organisasi tersebut. Untuk ruang lingkup yang regional misalnya Indonesia bergabung dalam kerjasama segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailad yang dikenal dengan singkatan IMT-GT. Liberalisasi perdagangan yang akan dikembangkan sebagai salah satu gagasan yang dilontarkan dalam forum APEC itu, akan menyatukan berbagai dimensi strategis, tidak hanya segi yuridis dan politis, tetapi juga menuntut perhatian dan perhitungan strategis secara ideal, filosofis, berkonotasi kepentingan dan ketahanan Nasional. (Lubis, 1996: 87)

Dalam pelaksanaan persetujuan umum perdagangan Internasional melalui liberalisasi perdagangan Internasional tentunya masing-masing negara akan berupaya untuk memanfaatkan berbagai bentuk kerjasama perdagangan untuk dapat memajukan perekonomian Negara masing-masing. Namun apabila ditelaah dari kondisi riel tentang adanya kesenjangan yang terjadi antara negara-negara maju yang telah berada pada posisi mapan dan unggul, sementara dipihak lain negara-negara berkembang dan negara terbelakang berada pada posisi lemah, akibatnya bentuk kesepakatan perdagangan Internasional seperti yang diatur dalam

GATT/WTO, APEC, NAFTA dan lain-lain dikhawatirkan para pengamat akan menjadikan perangkap bagi negara-negara berkembang dan terbelakang menjadi sasaran eksploitasi ekonomi negara-negara maju, bahkan lebih jauh negara-negara berkembang dan terbelakang akan kehilangan kedaulatan dinegaranya sendiri. Indonesia sebagai bagian dari negara-negara peserta perdagangan Internasional tentunya harus mengkaji secara mendalam dan objektif kemungkinan dampak positif dan dampak negatif berbagai bentuk kerjasama perdagangan Internasional yang dilakukan ; adalah perlu kita cermati uraian M. Solly Lubis, yang menyatakan: jangan sampai Indonesia sekedar menjadi limpahan produk sebagai tempat pemasaran hasil-hasil industri negara-negara lebih maju, disaat kita sendiri lebih berbenah untuk pembangunan perdagangan yang bertujuan memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian rakyat, dalam rangka peningkatan devisa negara.(Lubis,1996: 87)

KEK SEBAGAI PELUANG DAN ANCAMAN

K E K Sebagai Peluang

Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan fenomena global yang

sulit kita hindari, karena KEK merupakan salah satu bentuk baru kerjasama Internasional dalam bidang perdagangan sebagai konsekwensi masuknya Indonesia menjadi anggota berbagai organisasi perjanjian perdagangan Internasional baik GATT/WTO, APEC, AFTA maupun IMT-GT. Kerjasama KEK saat ini merupakan perkembangan mutakhir dari berbagai bentuk kerjasama ekonomi sebelumnya. Salah satu bentuk kerjasama ekonomi yang pernah dikembangkan pemerintahan sebelumnya adalah Pembentukan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dibeberapa Provinsi di Indonesia seperti: Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (KAPET) di Indonesia (Listiyorini, 2006: 15)

Tabel. 1

No Provinsi Nama KAPET

1 Irian Jaya (Papua) Biak

2 Kalimantan Barat Sanggau

3 Kalimantan Tengah Kakab

4 Kalimantan Selatan Batu Licin, Banjarmasin

5 Kalimantan Timur Sasamba, Samarinda

6 Maluku Tengah Seram

7 Nusa Tenggara Timur Mbay

8 Nusa Tenggara Barat Bima

9 Sulawesi Selatan Pare-pare, Ujungpandang

10 Sulawesi Utara Manado

11 Sulawesi Tengah Batui, Luwuk

12 Sulawesi Tenggara Bukari, Kendari

13 Nanggroe Aceh Sabang

Sumber: Diolah dari SK. Harian Analisa Medan, Kamis 6 Juli 2006: 15

Dari 13 (tiga belas) provinsi di Indonesia yang telah mambangun KAPET tersebut, ternyata belum membuahkan hasil yang signifikan, hal ini disebabkan pembangunan beberapa KAPET tersebut tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. Berbagai kelemahan yang mengakibatkan kurang berhasilnya KAPET yang ada tersebut disebabkan berbagai faktor, misalnya KAPET Mbay di Nusa Tenggara Timur, kesulitan menjaring investor akibat infrastruktur jalan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, air bersih yang kurang menunjang. (Listiyorini,2006:15). Sedangkan Batam yang dikembangkan sejak awal 1970-an dan sempat menikmati sejumlah perlakuan khusus sebagai kawasan industri, perdagangan, pariwisata dan jasa alih kapal dengan status BZP nya tampak tidak terlalu sukses mempertahankan investornya. (Listiyorini, 2006: 15). Pengalaman kurang suksesnya program KAPET ini seyogianya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk mengkaji ulang kekurangan dan kelemahan pada pelaksanaan KAPET sehingga tidak terulang lagi dalam program KEK. Untuk itu dalam program pembangunan KEK di Indonesia kita harus mengkaji secara matang bagaimana perencanaan dan strategi yang tepat agar KEK dapat sukses, sekaligus juga mengadakan pengkajian kemungkinan dampak positif dan negarif yang ditimbulkan KEK itu sendiri. Oleh karena itu Indonesia harus benar-benar jeli dan bijaksana agar pembentukan KEK di Indonesia selalu mengutamakan kepentingan positif bagi bangsa Indonesia baik jangka pendek maupun jangka panjang serta pentingnya kemampuan kita untuk meminimalisir dampak negatif dari KEK itu. Program KEK apabila ditinjau dari salah satu filosofi pembangunan Nasional yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya terkesan program programatis dan instan karena program KEK diarahkan pada daerah yang bukan hanya memiliki potensi untuk dikembangkan perekonomiannya, namun juga telah memiliki infrakstruktur pendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa KEK tidak akan pernah dibangun di daerah yang masih terbatas pembangunan sarana dan prasarananya, sehingga KEK tidak dapat diharapkan untuk mendorong pembangunan daerah yang masih belum maju. Jelasnya KEK akan nimbrung didaerah yang telah maju dan berkembang pesat dan didukung sarana dan prasarana yang relatif maju. Malahan Menteri Perindustrian RI Fahmi Idris menegaskan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh daerah yang akan dikembangkan menjadi KEK antara lain dekat dengan Pelabuhan, Bandar Udara dan sumber daya manusia, selain itu kawasan tersebut juga harus memiliki prasarana dan akses yang dibutuhkan seperti tenaga kerja dan keberadaan industri penunjang dan jasa penunjang diwilayah tersebut. (Listiyorini, 2006: 15)

Sebenarnya yang menjadi perhatian pokok bagi kita, di samping KEK harus dapat dijadikan sebagai salah satu solusi bagi pengentasan (erradication) perekonomian nasional, hendaknya program KEK juga jangan hanya sekedar program proyek mercusuar bagi rezim pemerintahan yang sedang berkuasa, tapi harusnya benar-benar dijadikan program yang menjadi kebutuhan pembangunan nasinonal, sehingga kalaupun nantinya terjadi pergantian rezim pemerintahan di Indonesia, program KEK tetap dapat dilanjutkan dan dikembangkan oleh rezim pemerintahan yang baru. Seandainya program KEK bisa berjalan sukses dan langgeng di Indonesia, sebagaimana pengalaman sukses dari beberapa negara yang terlebih dahulu manjalankan program KEK, seperti yang dijalan kerjasama antara Singapura dengan negara Vietnam dan Republik Rakyat Cina (RRC) tentunya akan banyak membawa multiflier effect bagi perekonomian dan kesejahteraan khususnya masyarakat disekitarnya dan Indonesia pada umumnya. Secara imaginer, program KEK kemungkinan dapat membawa dampak positif dalam berbagai hal antara lain:

a) Dengan adanya KEK diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru dalam jumlah besar, sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi

jumlah pengangguran.

b) Dengan terserapnya angkatan kerja di masyarakat, akan meningkatkan income perkapita masyarakat, hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat.

c) Dengan meningkatnya daya beli masyarakat maka kegiatan sektor ekonomi riel lainnya berupa perdagangan barang dan jasa mengalami kemajuan.

d) Selain itu dengan adanya KEK yang akan menjadi tempat beroperasinya berbagai industri dan perdagangan, maka diharapkan akan dapat menampung hasil produksi pertanian, perkebunan, perikanan, kerajinan masyarakat sekitar (hinterland) untuk diolah sebagai bahan baku bagi industri yang ada di KEK.

e) Dengan adanya pasar penampungan hasil-hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan masyarakat akan meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat.

f) Dengan berkembangnya kegiatan KEK, diharapkan akan mendorong perkembangan industry jasa pendukung lainnya yang menjadi usaha masyarakat sekitar, misalnya jasa angkutan, jasa pelayanan penginapan, jasa hiburan, perhotelan dan lain-lain. Beberapa multiflier effect positif tersebut di atas diharapkan menjadi paket substansi dari visi dan missi pelaksana program KEK di Indonesia, sehingga KEK benar-benar dapat menjadi salah satu solusi alternatif pengentasan perekonomian Indonesia yang masih tetap terpuruk sejak dilanda krisis moneter tahun 1997.

KEK sebagai Ancaman

Di samping kita menelaah KEK sebagai peluang, tentunya program KEK juga mengandung berbagai kelemahan yang dapat menjadi ancaman bagi negara penerima KEK termasuk seperti Indonesia. Berbagai aspek yang rentan berbenturan dengan program KEK perlu mendapat perhatian serius, seperti aspek hukum, aspek sosial budaya, aspek politik termasuk aspek pertahanan dan keamanan, jadi dengan demikian masalah KEK tidak tepat apabila kita hanya tinjau dari perspektif keuntungan ekonomi belaka, tapi berbagai aspek tersebut di atas juga harus mendapat telaahan secara proporsional. (1) Aspek Hukum, dari aspek hukum, program KEK mutlak harus mendapat kajian, karena bagaimanapun program KEK tidak terlepas dari landasan hukum yang akan menjadi dasar aturan main (rule of game) seluruh aktivitas KEK sebagai kegiatan ekonomi khusus tidak mungkin terlepas dari hukum. Sebagaimana dijelaskan Prof. DR. Bismar Nasution, SH., M.H supaya pembangunan ekonomi dilakukan berlandaskan hukum. (Nasution, 2004) Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum tidak dapat dihindarkan, sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, dalam arti substansi berbagai Undang-Undang dan perjanjian-perjanjian menyebar

melewati batas-batas negara (cross border), (Nasution, 2004) lebih jauh lagi, apabila ditarik dari akar filsafat bangsa Indonesia, Pancasila merupakan sumber hukum Indonesia, hal ini mengandung konsekwensi bahwa hukum di Indonesia itu mengacu kepada Pancasila (Kabul,2005:53) dengan demikian peraturan-peraturan dalam bentuk dan tingkat apapun harus mengacu kepada Pancasila atau tidak dibolehkan bertentangan dengan Pancasila sebagai norma dasar (groundnorm). Apabila program pembangunan KEK ini dikaitkan dengan politik hokum (legal policy) nasional, maka perlu adanya telaah mendalam dan komprehensif, apakah politik hukum yang dilaksanakan dalam rangka KEK masih konsisten pada aspirasi dan norma dasar Pancasila sebagai landasan filosofi sehingga politik hukum yang kita anut bersifat grounded, atau telah terjadi pergeseran kearah yang pragmatis guna menyahuti keinginan dan permintaan dari negara maju dan investor pelaksana KEK. Dari berbagai penjelasan (statement) yang disampaikan para pejabat pemerintah terikat dengan KEK, pemerintah akan berupaya menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di KEK dengan pemberian berbagai fasilitas khusus, seperti pemberian kemudahan perizinan usaha, kelonggaran izin lingkungan, aturan kepabeanan, perpajakan dan pelayanan perdagangan, bahkan KEK akan mendapat otoritas yang terpisah dari daerah setempat.

Pemberian insentif dan perlakuan khusus, berlebihan ini sebenarnya kurang tepat apabila ditinjau dari segi kedaulatan hukum Indonesia, namun mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang berada pada posisi lemah, maka Indonesia memilliki ketergantungan yang tinggi terhadap kehadiran investor-investor asing tersebut. Posisi lemah Indonesia paling tidak dalam 3 (tiga) hal; pertama, lemah dalam bidang permodalan (capital); kedua, lemah dalam bidang management, dan ketiga, lemah dalam penguasaan science dan IPTEK menjadikan kita sulit menghindar dari skenario global ala KEK ini. Menurut teori ketergantungan (dependency theory) dijelaskan ketika ekonomi di antara dua kutub dalam perekonomian dunia yang kapitalistik, yakni antara yang mendominasi (dominance) dan yang terdominasi (dependence) (Wicaksono, 2003:9). Dalam dialektika ekonomi tersebut tentu saja the dominace terus menerus mengalami surfllus profit, sementara negara yang berada dalam posisi inferior (the defendence) hanya menikmati surplus pinggiran atau residu yang dari segi kuantitas tidak sebanding dengan dampak sosial yang timbul akibat proses eksploitasi KEK. (Wicaksono, 2003:9). Dengan adanya proses perkembangan yang timpang (unequeal development) tersebut jelas akan memuluskan missi utama kapitalisme dengan berbungkus baju KEK yaitu: pertama berupaya menguasai bahan mentah melalui eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam; kedua, berusaha memperoleh tenaga kerja/buruh yang murah di negara dependence; ketiga, berusaha menguasai pasar/market dengan jalan monopoli baik

pembelian maupun penjualan. Kecenderungan ketiga praktek missi kapitalisme di atas sangat rentan terjadi dalam program KEK di Indonesia apabila kita tidak hati-hati dan bijaksana merumuskan aturan hukum yang menjadi landasan kegiatan KEK tersebut. (2) Aspek Sosial Budaya, Negeri-negeri yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat: unifikasi, industrialisasi, dan negara kesejateraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik

untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasinonal. Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik, akhirnya dalam tingkat ketiga, tugas Negara yang utama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakata (Rajagukguk, 1997:2). Apabila tingkatan perkembangan negara tersebut di atas kita elaborasikan dengan Negara Indonesia, nampaknya agak sulit menentukan pada posisi tingkat mana negara kita saat ini berada.

Pada tingkat unifakasi yang menekankan pada pencapaian integarasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional, bila di elaborasikan dengan kondisi riel Negara Indonesia saat ini, kita masih tetap berjuang keras untuk menciptakan persatuan dan kesatuan yang cenderung terusik dengan berbagai tuntutan daerah yang ingin melepaskan diri dari negara kesatuan RI (lihat kasus Aceh dan Papua). Demikian juga apabila kita kaitkan dengan tingkatan kedua yaitu untuk menjadi negara industri, lagi-lagi kita tidak punya basic modal yang kuat. Kelemahan kita dalam bidang permodalan (dana dan equipment), bidang management (masih tingginya KKN dan Hight Cost Economic) dan lemahnya penguasaan science dan IPTEK memposisikan negara kita belum mampu naik tingkat ke negara industri, malahan ironisnya kita sebagai negara agraris pun kehilangan jati diri, sebab walaupun kita sebutan negara agraris, akan tetapi fakta lain menunjukkan Indonesia adalah negara importer bahan pangan (beras, jagung, kedelai) terbesar di dunia, sehingga terkadang timbul pertanyaan kenapa Indonesia sebagai negara agraris malah harus mengimpor bahan pangan untuk kebutuhan dalam negeri, sungguh menyedihkan bukan. Lain lagi apabila kita elaborasikan negara Indonesia sebagai negara yang berada pada tingkat ketiga, yang menekankan pada tugas negara untuk melindungi rakyat dari sisi negative dari industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap sebelumnya, dan perwujudan kesejahteraan masyarakat, agaknya saat ini hal tersebut masih menjadi sesuatu yang utopis, atau angan-angan belaka. Kehadiran KEK disadari atau tidak akan merobah perilaku masyarakat, dan juga rentan akan terjadinya perbenturan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat lokal. Perilaku masyarakat yang semula menganut nilai-nilai sosial yang tinggi dengan pola culture paguyuban (gemeinschap, gemeinschaft) dengan nilai dasar mengutamakan pengabdian berobah menjadi pola culture patembayan (geselschaft, gesellschaf) dengan nilai dasar mengutamakan sifat materialistis. Kecenderungan perubahan nilai ini juga sangat dipengaruhi perbauran antara budaya asing yang umumnya sekuler bersinggungan dengan budaya local/daerah yang umumnya religius, terikat adatistiadat, tatakrama dan kebiasaan lainnya. (3) Aspek Politik dan Keamanan, Pengaruh (influence) program KEK juga tidak tertutup akan berimbas pada aspek politik dan keamanan. Dengan adanya perubahan dan perbauran budaya lokal dan budaya asing, apabila tidak dicermati secara benar dan bijaksana, dapat menimbulkan konflik horizontal yang mengganggu stabilitas politik dan keamanan. Perubahan nilai dan perilaku sebagian warga masyarakat kearah materialistis dan sekuleristik (biasanya terimplikasi dalam bentuk kehidupan pergaulan bebas, hura-hura, minuman keras, narkoba dan lain-lain) tentunya akan mendapat perlawanan atau penolakan (resistensi) dari kelompok masyarakat yang tetap komit dan berpegang teguh pada ajaran agama, adat istiadat sebagai pedoman hidupnya.

Kondisi ini akan rentan menimbulkan konflik sosial, lain lagi dengan masalah perusakan lingkungan hidup akibat dari industri-industri yang akan beroperasi didalam KEK, yang dikhawatirkan dengan adanya perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan kepada mereka, akan dapat menimbulkan sikap acuh mereka tehadap kewajiban menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidup yang juga merupakan hak masyarakat untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, bukankah telah banyak pengalaman kasus yang menunjukkan kepada kita betapa rendahnya kepedulian para pengusaha/investor dalam memperhatikan dan menjaga keamanan dan kelestarian lingkungan hidup disekitar tempat mereka berusaha. Selama ini mereka seenaknya melakukan pembalakan hutan, pencemaran sungai, polusi udara tanpa memikirkan masa depan dan keselamatan umat manusia. Eksploitasi besar-besaran hasil tambang yang acapkali mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat lokal (lihat kasus PT. Inti Indorayon Utama; PT. Freeport di Papua; kasus PT. Busang dan lain-lain). Hal lain yang paling rentan menimbulkan konflik dalam program KEK adalah pemenuhan lahan untuk lokasi KEK yang relatif sangat luas, untuk satu KEK diperkirakan membutuhkan lahan seluas + 10.000 Ha. Pemenuhan lahan seluas dimaksud bukanlah merupakan hal yang mudah apalagi mengingat rumitnya masalah pertanahan di Indonesia yang kian hari semakin rumit. Kondisi ini akan menimbulkan masalah baru. Berbagai program membangun yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta hamper tak lepas dari permasalahan pertanahan. Tentunya semua ini patut menjadi kajian mendalam bagi semua pihak terkait dalam program KEK, sehingga KEK tidak menjadi malapetaka bagi bangsa Indonesia di kemudian hari.

KESIMPULAN

Program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai fenomena global sulit untuk dihempang, karena dalam program KEK terdapat dua pihak yang sebenarnya saling membutuhkan. Negara-negara maju sangat berkepentingan untuk mengembangkan jangkauan kegiatan perekonomiannya baik yang dilakukan secara Goverment to Goverment (G to G) maupun yang dilakukan oleh perusahaan Transnasional sebagai investor; sementara dipihak negara-negara berkembang atau negara-negara terbelakang pada umumnya membutuhkan dukungan investasi asing dalam mengolah sumber daya alam yang ada dinegerinya guna mengembangkan perekonomian negara yang bersangkutan.

Namun dalam pelaksanaannya hubungan kerjasama penanaman investasi asing mengalami ketimpangan dalam pembagian keuntungan, di mana porsi keuntungan biasanya jauh lebih besar bagi negara investor, sehingga negara penerima investasi hanya memperoleh bagian yang sangat minimum; hal ini juga dikhawatirkan dalam praktek KEK yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus mampu memperjuangkan posisi tawar kita, sehingga dalam pelaksanaan KEK, Indonesia juga memperoleh manfaat keuntungan yang signifikan dan proporsional, di samping itu Indonesia juga harus terhindar dari sapi perahan negara maju/investor asing dalam program KEK tersebut.




SUMBER (daftar pustaka)

________. Pengaruh Globalisasi Ekonomi pada Hukum Indonesia, Makalah. Rajagukguk, Erman. 1997.

Peranan Hukum Dalam Pembangunan pada Era Globalisasi, Implikasinya bagi Hukum di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum pada Fakultas Hukum Univesitas Indonesia. Jakarta.

Wicaksono, Padang. 2003. Sekali Lagi Tentang Ketergantungan Indonesia, Mengenang DR.

Sritua Arief. SK. Suara Pembaruan. Jakarta.

Chandrawulan, A dan Huala Adolf. 1994. Masalah-masalah Hukum dalam PerdaganganInternasional. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Kabul, Imam. 2005. Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia. Penerbit Kurnia Kalam. Yogyakarta

Kartadjoemena, H. S. 1996. GATT dan WTO, Sistem, Forum dan Lembaga Internasional Di bidang Perdagangan. UI Press. Jakarta.

Listiyorini, Eko. 2006. Kawasan Ekonomi Khusus. Jurus Baru Tarik Investor. SK. Harian Analisa. Medan

Lubis, M. Solly. 1996. Dimensi-dimensi Manajemen Pembangunan. Penerbit Mandar Maju. Bandung

________. Bahan-bahan Kuliah Trend Globalisasi dan Politik Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU

Nasution, Bismar. 2004. Globalisasi dan Pendidikan Tinggi Hukum. Orasi Ilmiah pada Dies Natalis Ke-50 Fakultas Hukum USU.