Selasa, 24 Mei 2011

Jurnal Aspek Hukum dalam Perekonomian

Jurnal Aspek Hukum dalam Perekonomian

oleh : Dr. Jusuf Anwar, SH., MA

1. Dualisme Sistem Hukum
Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
merupakan dasar bagi para penegak hukum untuk menggunakan hukum
positif dari sistem Eropa Kontinental tersebut dalam membuat setiap
keputusan. Namun di sisi lain, cukup banyak peraturan perundang-undangan
pada sektor keuangan dan perbankan yang sangat dipengaruhi oleh sistem
hukum Anglo Saxon atau Common Law. Aplikasi kedua sistem hukum yang
berbeda tersebut dalam hukum positif di Indonesia pada sektor keuangan dan
perbankan dalam banyak hal telah mengakibatkan dis-harmoni, yang dapat
terlihat dari pengaturan yang tidak konsisten satu sama lain dari kedua sistem
hukum tersebut yang berpadu dalam suatu materi yang sama.
Sebagai misal, dalam perdagangan surat berharga tanpa warkat (scriptless
trading) umumnya dipergunakan aplikasi teknologi. Hal ini telah menjadi ciri
umum perdagangan di berbagai negara maju maupun di beberapa negara
berkembangan lainnya, termasuk Indonesia. Praktik scriptless trading ini hanya
dimungkinkan apabila disertai dengan suatu tanda tangan digital yang tidak
dikenal dalam sistem hukum positif di Indonesia, yang akan mengakibatkan
perdagangan tersebut tidak sah sehingga batal dengan sendirinya atau dapat
dibatalkan.

2. Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
Bagi perusahaan, GCG merupakan asset dan memerlukan komitmen dan
investasi. Kultur governance harus ditumbuhkan termasuk aspek pengambilan
keputusan dalam suatu manajemen. Daftar manfaat dari kepatuhan terhadap GCG
Development Bank, Manila-Philippnes,2001 hlm 1. Lihat pula diskusi menarik tentang GCG pada sector perbankan sudah cukup panjang, yang semuanya bermuara pada naiknya nilai tambah pemegang saham (increasing shareholder value).
Contoh konkrit adalah huutang perusahaan-perusahaan swasta yang di bailed out
dengan kebijakan ‘blanket guarantee’ semata-mata membuktikan bahwa
sebahagian utama sektor kooperasi yang seharusnya menjadi pemain utama
ekonomi tidak lagi berfungsi sebagai asset negara. Perusahaan-perusahaan
swasta ini menjadi beban (liabilities) yang kiprahnya telah menimbulkan hutang
baru yang harus ditanggung renteng oleh para anak, cucu dan cicit kita.
Lemahnya sektor korporasi ini telah menyebabkan mereka makin jauh dari
peranannya sebagai ‘engine of growth’* atau sebagai primadona pembangunan.
Ekonomi telah beralih ke ekonomi fiskal, ekonomi APBN, yang artinya sepanjang
APBN aman maka demikian pula kinerja ekonominya. Di sisi lain, kita masih
beruntung karena masih memiliki UKM (usaha kecil-menengah) dan sektor
informal yang tinggi daya resistensinya terhadap gejolak yang timbul. Sektor inilah
yang mampu menyerap angkatan kerja serta menggairahkan mekanisme pasar
melalui permintaan dan penawarannya. Jumlah bunga obligasi yang dibayarkan
oleh pemerintah itulah yang masih mampu memutar roda ekonomi. Kota saat ini
hidup di ‘kebun bunga’. ‘Peranan bunga’ sangat dominan malah sektor perbankan
itu sendiri hidup dari memetik ‘bunga’ apakah itu dari obligasi pemerintah maupun
SBI. Penerimaan operasional perbankan kita relatif kecil disbanding dengan
penerimaan lain-lain. Penerimaan dari bunga termasuk ke dalam kelompok lainlain
tersebut. Oleh karenanya dengan segala daya kita harus mampu menjaga
agar pemerintah tidak ingkar janji (default) dalam pemenuhan kewajibannya
membayar bunga. Default hanya berarti ‘ the beginning of the end’ dan orang akan
mulai menengok pada krisi perbankan yang kedua.
* dalam artikel Ratna Januarta, Penerapan Good Corporate Governance Pada Sektor Perbankan, Jurnal
Ilmu Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Vol 4, nomor 2, Juni 2003, hlm.
103-117
Penyebab utama dari lemahnya pondasi ekonomi makro Indonesia dibuktikan
dalam studi yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2000
di beberapa negara Asia Timur, khususnya Indonesia, Korea, Philippines dan
Thailand, yang menyimpulkan bahwa: ‘countries that sufferes dramatic reversals of
fortune during the Asian financial ciris have identified weaknesses in corporate
governance as one of the major sources of vulnerabilities that led to their
economic meltdown in 1997’’10.
Dilain pihak, Presiden Asian Development Bank, Mr.Tadao Chino pernah
mengatakan bahwa, “…. A dynamic private sector is critical to achieving propoor,
sustainable economic growth....”11. Dalam hal ini sektor korporasi erat kaitannya
dengan usaha pengentasan kemiskinan baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam kesempatan yang sama, pernyataan senada juga disampaikan oleh banyak
pihak yang mewakili negara maju maupun yang mewakili negara berkembang,
dalam hal ini mereka menggaris-bawahi arti penting dan peran GCG dan arti
strategis peran sektor swasta dalam pembangunan.
Sektor korporasi yang mampu berperan positif bagi pembangunan ekonomi adalah
sektor korporasi yang merupakan aset nasional dan bukan mereka yang hanya
menjadi beban dan parasit masyarakat. Kelompok sektor koporasi ini adalah
kelompok yang patuh pada tata kelola korporasi yang baik, taat pada aturan main
dan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan kata lain, adalah mereka yang
mampu mempraktikkan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam
menjalankan usahanya.
Dalam kehidupan saat ini GCG harus merupakan komitmen, dan komitmen ini
membutuhkan investasi. Pembentukan beberapa komite seperti Komite Audit,
Komite Anggaran, dan lain sebagainya, termasuk pula pengangkatan Komisaris
dan Direksi Independen akan memerlukan biaya. Demikian pula penegakkan
10 Zhuang Juzhong et al. Corporate Governance and Finance in East Asia. Vol 1 Asia Development Bank
2000 hlm 1.
11 Chino, Tadao, opening Speech in Asian Development Banks Annual Meeting, Honolulu,USA, May 2001
transparansi, akuntabilitas dan tanggungjawab memerlukan publikasi dan
sosialisasi yang tidak budget neutral.
Manfaatnya sudah banyak terbukti, bahwa GCG menaikkan nilai tambah para
pemegang saham perusahaan. Namun, merubah kultur dan etos kerja tidak pula
mudah, termasuk sulitnya memperbaiki cara pengambilan keputusan dan merubah
perilaku manajemen. Dalam banyak segi, penerapan GCG baru sampai pada
tahap retorika. Keengganan menerapkan GCG lebih banyak disebabkan karena
sikap yang menilai bahwa GCG sebagai beban dan bukan sebagai aset
perusahaan.
Dengan demikian GCG sulit dimulai apabila orang masih bersikap skeptis. Hal ini
terlihat dari masih banyaknya yang beranggapan bahwa GCG itu tidak perlu
karena tidak adanya sanksi dan insentif. Perusahaan yang tidak menerapkan GCG
malah dinilai lebih maju, karena prinsip keterbukaan perusahaan bagi sementara
pihak dianggap lebih banyak negatif atau mudharatnya.
Namun di sisi lain, banyak juga perusahaan-perusahaan yang mudah merasakan
nilai tambah dari aplikasi GCG, seperti lebih mudanya akses ke pasar modal
Internasional serta banyaknya investor yang bersedia membayar premi yang lebih
tinggi bagi saham perusahaan yang telah menerapkan GCG. Dalam hubungan ini
kiranya perlu pula digalakkan penerapan label khusus bagi perusahaan yang
sudah menerapkan GCG seperti diberikan ISO khusus untuk GCG. Perusahaan
yang sudah menerapkan GCG akan membawa bendera bonafiditas. Efek positif
lainnya adalah mampu merekrut tenaga yang terbaik yang ada dipasar tenaga
kerja pada saat ini, tenaga professional lebih bersikap kritis dalam mencari
pekerjaan. Kelompok tenaga profesional ini hanya ingin bergabung dengan
perusahaan terbaik termasuk didalannya kepatuhannya terhadap praktek etika
bisnis. Bekerja pada perusahaan yang “brengsek” hanya akan membawa petaka.
Para karyawan akan selalu terbawa-bawa ketika perusahaan memperoleh
masalah. Oleh karena itu pula, paradigme shareholder oriented sudah bergeser ke
paradigma stakeholder oriented.
GCG pada dasarnya mencakup etika bisnis, kumpulan etika ini dimuat dalam code
of GCG. Dibutuhkan kesukarelaan dari pihak korporasi dalam mematuhi code ini12.
Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak menaatinya karena memang sifatnya
voluntary compliance. Code atau pedoman sejenis ini biasanya pula diterbitkan
oleh lembaga/asosiasi profesi yang tidak mempunyai kewenangan publik,
misalnya Perbanas. Dalam pelaksanaannya, agar pedoman semacam ini dapat
dipaksakan, maka pedoman ini harus dikeluarkan oleh instansi/lembaga yang
mempunyai kewenangan mengatur. Oleh karena itu pula, banyak ketentuan
pedoman GCG yang diambil alih oleh Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku dan masyarakat diwajibkan untuk mematuhinya (mandatory compliance).
Disini dapat di terapkan sanksi bagi para pelanggarnya. Sebagai contoh adalah
ketentuan-ketentuan tentang praktik GCG dalam UU Perseroan Terbatas, UU
Pasar Modal, UU Perbankan dan juga peraturan pelaksanaanya.
Pada banyak negara berkembang, pelaksanaan GCG lebih didorong karena
adanya rasa takut terhadap sanksi yang ada, atau takut kepada para penguasa.
Peraturan yang berlaku menyediakan berbagai sanksi perdata maupun pidana,
bagi para pelanggarnya, apalagi saat ini di mana ultimum remedium lebih
menonjol dari primum remendium. Inilah sikap pentaatan terhadap GCG yang
bersifat regulatory driven dan bukan atas dorongan professional driven dan ethic
driven.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah bahwa GCG harus dianggap
sebagai asset yang tidak berwujud (intangible asset) yang akan memberikan hasil
balik yang memadai dalam hal memberikan nilai tambah kepada para pemegang
saham. GCG juga harus menajdi way of life atau kultur perusahaan yang dapat
dimanfaatkan dalam proses pengambilan keputusan serta menjadi pedoman
perilaku manajemen.
12 Di Indonesia antara lain diterbitkan oleh Komite Nasional untuk GCG
Prinsip-prinsip responsibility; accountability, fairness, dan transparency yang
pertama kali diperkenalkan oleh OECD menjadi suatu prinsip dasar yang diadopsi
dan diadaptasi oleh banyak institusi dalam menyusun pedoman GCG. Dalam
konteks perbankan, apabila suatu bank akan go public, maka harga sahamnya di
pasar harus mencerminkan keempat prinsip dasar tersebut. Pasar yang efektif dan
efisien hanyalah pasar yang mampu mencerminkan harga yang telah
mengakomodasikan semua informasi yang ada. Praktek tercela insider trading
misalnya, tidak mencerminkan harga yang sebenarnya karena informasi yang
dapat mempengaruhi harga hanya dimiliki oleh para insiders yang melakukan
perdagangan.
Survey terakhir Mc Kinsey pada tahun 2002 membuktikan bahwa investor
bersedia membayar premium bagi ‘awell-governed company’. Untuk Indonesia
mereka bersedia membayar premi sebesar 27%. Suatu kesimpulan yang dapat
ditarik dari survey tersebut adalah bahwa semakin rendah tingkat budaya GCG
pada suatu negara maka premium yang akan diberikan akan semakin tinggi
kepada perusahaan yang menerapkan GCG13. Dalam hal ini, para investor akan
sangat menghargai manajemen perusahaan yang berani melakukan hal positif di
dalam tata kelola perusahaan walaupun lingkungannya tidak mendukung. Dengan
demikian, tidak ada pilihan lain, bagi sebuah bank yang merupakan lembaga
bisnis kepercayaan selain menerapkan konsep GCG termaksud.
Demikian pula komisaris dan direksi yang sudah berada pada jaman dan nuansa
pengelolaan bisnis yang berubah dimana suatu perusahaan yang tinggi daya
resistensinya terhadap berbagai krisis dan tinggi sustainabilitynya, hanyalah
perusahaan dengan tata kelola yang bernuansa GCG. Selaku leader of the last
resort, Bank Sentral juga harus mengeluarkan pedoman GCG yang dapat diikuti
oleh kalangan perbankan. Di dalam pedoman yang bersifat voluntary ini, harus
dimuat hal pokok dimana kewajiban pemenuhannya bersifat mandatory. Sistem
reward and punishment harus diperkenalkan. Hingga saat ini, belum ada satu
13 Ratna Jakarta, op sit, hlm. 106
bank pun yang mampu mengibarkan bendera GCG sebagai salah satu
bonafiditasnya. Belum ada benchmark bagi suatu bank yang fully GCG.
“the legal framework in a country is as vital for economic development as for
political and social development. Creating wealth through the cumulative
commitmen of human, technological and capital resources depends greatly on
a set of rules securing property rights, governing civil and commercial
behaviour, and limiting the power of the state…. The legal framework also
effects the lives of the poor and , as such, has become an important dimension
of strategies for poverty alleviation. Ini the strunggle against discrimination, in
the protection of the socially weak, and in the distribution of opportunities in the
society, the law can make an important contribution to a just and equitable
society and thus to prospects for social development and poverty alleviation’’14
pernyataan yang optimis dari World Bank tersebut merupakan referensi yang
bermanfaat untuk mendiskusikan peran hukum dalam pembangunan. Esensi dari
pernyataan tersebut antara lain menggaris-bawahi bahwa kerangka kerja hukum
dalam suatu negara adalah sangat penting bagi perkembangan ekonomi, politik
dan sosial. Kerangka hukum yang ditata baik sejak awal akan menciptakan efek
domino yang baik pada berbagai sektor kehidupan bernegara, dan sebaliknya.
Dalam kerangka mencapai sasaran berbagai perkembangan dan pembangunan
tersebut hukum harus menampakkan perannya. Dalam kaitannya dengan
kerangka dasar pembangunan nasional, hukum mewujudkan diri dalam 2 wajah,
yaitu di satu pihak hukum memperketatkan diri sebagai suatu aspek
pembangunan, artinya bahwa hukum itu diikat sebagai suatu faktor dari
pembangunan itu sendiri yang perlu untuk mendapat prioritas dalam usaha
penegakan pembangunan dan pembinaannya15. Di lain pihak hukum itu harus
dipandang sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang
akan menentukan keberhasilan usaha-usaha pembangunan nasional. Berkaitan
dengan masalah hubungan hukum dengan pembangunan ini, terdapat berbagai
14 World Bank, Governance: The world Bank’s Experience: The World Bank Washington DC, 1994
sebagaimana dikutip dalam Mc Auslan, Patrick, Law, Governance and the development of the market
practical problems and possible solutions dalam Faundez, Julio, Ed, Good Government and Law-Legal
and Institution Reform in Developing Countries The British Council, 1997, hlm 25
15 Jusuf Anwar, op cit, hlm 33.
konsep yang diajukan oleh pakar hukum. Pada umumnya mereka berpendapat
bahwa dalam pembangunan yang dilaksanakan, hukum berfungsi bukan hanya
sekedar “as a tool of social control” atau sebagai alat yang berfungsi
mempertahankan stabilitas, tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Roscoe
Pound, hukum juga berfungsi sebagai “as a tool of social engineering”16.
Sehubungan dengan hal ini Sumaryati Hartono berpendapat, penyusunan UUD
1945 sebenarnya beranjak pada filsafah futuristik yang antara lain dikemukakan
oleh Roscoe Pound, dan yang sekarang dikenal sebagai falsafah hukum yang
melihat peranan hukum sebagai a tool of social engineering. Falsafah ini di
Indonesia disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai falsafah yang
memberikan peranan kepada hukum sebagai sarana pembangunan, yang
pendekatannya ternyata memang sudah diterapkan oleh penyusun UUD 194517.
Hukum hanya berpegang pada kewenangannya untuk mengatur, memerintah,
memaksa, serta melarang dan sebagainya, tanpa menanyakan apakah ketentuan
yang dibuatnya dapat dijalankan secara efektif. Oleh karena itu, di dalam “social
Engineering” ini sangat penting peranan dan umpan balik (feedback), agar
pengaturan itu senantiasa dapat disesuaikan dengan keadaan yang timbul di
masyarakat. Apabila hukum itu dilihat sebagai suatu sarana penunjang terhadap
pembangunan maka fungsi hukum itu harus mempunyai suatu pola tertentu.
Konsep Mochtar Kusumaatmadja terasa memiliki ruang lingkup yang sangat luas –
lebih daripada Roscoe Pound sendiri sebagai orang pertama yang
mengkonsepsikan fungsi hukum sebagai tool seperti dijelaskannya: “Dalam
artinya yang luas maka hukum itu tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat
16 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale Unversity Press, USA, 1854, hlm 47,
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
Bandung, LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung 1976, hlm, 11-12
17 Mochtar Kusumaatmadja, hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, LPHK. UNPAD,
Binacipta, Bandung 1976, hlm 9 Suatu uraian tentang landasan pikiran, pola dan mekanisme
pembaharuan hukum di Indonesia.
melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses
(process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dalam kenyataan”18.
Dalam sistem hukum ini, hukum pembangunan (development) meliputi segala
tindakan dan kegiatan yang memperkuat infrastruktur hukum seperti lembaga
hukum, organisasi profesi hukum, lembaga-lembaga pendidikan hukum serta
segala sesuatunya yang berkenaan dengan penyelesaian problem khusus
“pembangunan”. Konsepsi hukum pembangunan selaras dengan orientasi baru
mengenai pengertian hukum yang dikemukakan oleh A. Vilhem Rusted yang
mengatakan bahwa hukum itu adalah the legal machinery in action yaitu sebagai
suatu kesatuan yang mencakup segala kaidah baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis, prasarana-prasarana seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Advokat dan keadaan diri pribadi daripada individu penegak hukum itu sendiri
bahkan juga fakultas hukum sebagai lembaga pendidikan tinggi hukum19.
Dengan demikian paradigma “hukum sebagai jawaban atas masalah yang timbul’
harus diubah menjadi paradigma ‘hukum yang mampu melihat ke depan’ (forward
looking) terhadap berbagai kemungkinan terjadinya kasus perdata maupun pidana
yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai akibat dibukanya dunia cyber.
Perkembangan teknologi tidak saja menumbuhkan kemajuan ekonomi, akan tetapi
pula membuka peluang bagi pelaku kejahatan untuk memanfaatkan dunia yang
menjadi seamless dan borderless. Contoh yang umum adalah relevan dengan
terjadinya peluang kejahatan seperti tindakan pencucian uang serta adanya rezim
devisa bebas yang telah dianut Indonesia sekitar tiga dekade belakangan ini.
Contoh lain adalah penerapan sistem ‘single entry’ untuk akuntasi keuangan
pemerintah yang diberlakukan ICW di satu pihak, dan dipihak lainnya adalah
kebutuhan untuk menerapkan sistem ‘double entry’ sesuai dengan Standar
keuangan Internasional. Merupakan kenyataan yang sangat menggembirakan
18 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, cetakan Kedua
LPHK FH UNPAD, Binacipta, Bandung, hlm 11
19 S. Tasrif, peranan Hukum dan Pembangunan, Primsa no. 6 Tahun ke III, 1993, hlm 5
bahwa saat ini telah terdapat penyesuaian terhadap ketentuan Perundangundangan
keuangan negara, antara lain diundangkannya UU Keuangan Negara
(2003) yang akan diikuti dengan UU Perbendaharaan Negara serta UU
Pengawasan Keuangan Negara. Kedua ketentuan yang terakhir dan masih dalam
bentuk rancangan Undang-Undang tersebut saat ini sedang dalam pembahasan
intensif antara pemerintah dan DPR yang diharapkan selesai dalam tahun 2003.
hal ini merupakan contoh responsifnya hukum terhadap kebutuhan ekonomi walau
sangat terlambat. Sebagai informasi tambahan, pembahasan konsep UU
Keuangan Negara telah digarap oleh tidak kurang 15 tim sejak sekitar 30 tahun
lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar